“Iman itu bukan sekadar angan-angan atau hiasan, tetapi iman itu adalah sebuah keyakinan yang menghujam dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan”
Sabda
Rasulullah saw diatas menyadarkan kita akan satu hal: bukti. Iman akan
meninggalkan bukti perbuatan. Banyak bukti iman dalam Islam. Nabi saw bersabda,
“Iman itu terdiri dari 70 cabang lebih (riwayat lain: 60 cabang lebih). Cabang
yang paling utama adalah membaca la ilaha
illallah, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di tengah
jalan dan malu termasuk cabang dari iman” (muttafaq
alaihi, dari Abu Hurairah ra). Berikut ini sedikit dari berpuluh cabang
iman berdasar Al Quran dan Al Hadits:
1. Membaca kalimat tauhid
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia ( yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (QS. Ali Imran 18).
Saking agungnya, kalimat la ilaha illallah lebih berat dari
seluruh benda langit dan bumi. Nabi saw, “Musa berkata, ‘Wahai Tuhanku
ajarkanlah kepadaku sesuatu yang aku akan berzikir dan berdoa kepadaMu
dengannya. Allah berfirman, ‘Wahai Musa
ucapkanlah laa ilaha illallah.’
Musa berkata, ‘Wahai Tuhanku, seluruh hambaMu mengucapkan kalimat ini.’ Allah
berfirman, ‘Wahai Musa, seandainya 7 tingkat langit dan apa yang didalamnya
serta bumi dan tujuh selain Aku, diletakkan di suatu timbangan dan laa ilah illallah diletakkan di
timbangan yang lain, maka akan lebih berat timbangan laa ilaha illallah” (HR. Ibnu Hibban, Hakim, dishahihkan Al Hafidz
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/28, dari Abu Said Al Khudri ra.
2. Rasa malu
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya
ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah:
Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka” (HR. Bukhari, dari Abu
Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry). Malu merupakan salah satu tema yang
telah diajarkan oleh para nabi sejak dulu dan tidak terhapus hingga kini.
Jika seseorang telah meninggalkan rasa
malu, maka jangan harap lagi (kebaikan) darinya sedikitpun. Maka, hendaknya
kita malu berbuat maksiat, malu mengambil hak rakyat dengan curang, malu
berpakaian ketat dan minim di luar rumah, malu kepada keluarga, guru,
masyarakat, dan terutama malu kepada Allah swt.
3.
Menjaga
kebersihan
Hampir setiap tempat umum selalu ada
imbauan bertuliskan kebersihan sebagian
dari iman. Sabda Nabi saw ini lengkapnya berbunyi, “Bersuci (kebersihan)
sebagian dari iman, alhamdulillah
dapat memenuhi timbangan (pada hari kiamat), subhanallah dan alhamdulillah
dapat memenuhi antara langit dan bumi...” (HR. Muslim, dari Abu Malik Al
Haritsy bin ‘Ashim Al ‘Asy’ary).
Jadi, kebersihan merupakan bukti kadar
keimanan kita. Apakah kita termasuk yang tanpa rasa bersalah membuang tisu ke
jalan saat berkendara, membuang bangkai tikus di jalan, membuang sampah di
selokan dll? Ataukah kita bersabar untuk sementara menyimpan tisu kotor di saku
sampai ketemu tempat sampah? Nabi saw bersabda al islamu nadhifun. Fatanadhdhafu. Fainnahu la yadkhulul jannata illa
nadhifun ‘Islam itu bersih. Maka, cintailah kebersihan. Sebab, tidaklah
masuk surga kecuali orang yang bersih.
3. Bertutur
kata yang baik
Makin banyaknya perangkat komunikasi
saat ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi. Ada telepon, sms, mms, chatting, email, Facebook, Twitter, dll. Karenanya, akhlak bertutur
kata menjadi tolok ukur keberhasilan komunikasi & kadar keimanan. Nabi saw
bersabda, “Siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia
berbicara baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra).
Tutur kata juga bisa mengantarkan
seseorang ke surga atau malah ke neraka. Haniy bin Yazid ra bertanya, “Wahai
Rasulullah, tunjukkanlah padaku amalan yang dapat memasukkanku ke surga?” Nabi
saw menjawab, “Sesungguhnya hal-hal yang dapat mengundang ampunan (Allah)
adalah mengucapkan salam dan perkataan yang baik” (HR. Thabrani). Sebaliknya,
ucapan buruk (gunjingan, fitnah, dll) bisa menimbulkan kerusakan dan siksaNya.
4. Tidak
menyakiti tetangga
Tetangga ibarat ‘saudara’ terdekat
& paling dahulu menolong jika kita butuh. Etika bertetangga menjadi sangat
penting ketika kehidupan modern cenderung materialistik dan individualistik.
Nabi saw bersabda, “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para
sahabat bertanya, “Siapa Wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang
tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya” (Muttafaq alaihi).
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar