Karakter sains dan agama seringkali nampak
berbeda, perbedaan-perbedaan diantara keduanya membuat banyak pihak
berpandangan bahwa dua hal tersebut adalah sesuatu yang sangat berlainan,
bertentangan, masing-masing dianggap saling meniadakan, menafikan dan
menimbulkan hal-hal semacamnya. Wilayah sains dalam satu sisi dianggap sebagai
representasi dari kenyataan dunia yang seadanya, kasat mata, dapat dinalar dan
memiliki kelogisan-kelogisan tertentu. Sebaliknya wilayah agama diyakini
sebagai representasi dari setiap hal yang bersifat metafisik, supralogika,
ghaib, tidak dapat dinalar kurang logis dan selalu berkutat dengan kejumudan
(kemandegan) yang disebabkan oleh kooptasi doktrin-doktrinnya yang “using” dan
tidak populis.
Anggapan
sementara semacam itu dari beberapa pihak tentu harus dimaklumi karena
keterbatasan daya indera, daya nalar dan daya analisa manusia, memaksa manusia
itu sendiri berhenti pada satu titik pemahaman, dimana manusia merasa sangat
yakin bahwa dirinya tidak mampu menggali makna sesungguhnya dari korelasi sains
dan substansi agama.
Manusia dihadapkan pada fakta bahwa banyak titik
berikutnya dalam wilayah pemikiran yang tidak dapat dijangkau dan dipahami.
Kebesaran, keluasan dan kemisteriusan alam semesta adalah satu contoh konkrit,
betapa manusia hanya dapat menjangkau dan menganalisa tata surya bimasakti,
padahal diluar tata surya tersebut masih banyak lagi tata surya lain yang
tergabung dalam jagat alam raya (yang belum teridentifikasi secara detail
sejauh ini).
Sains
terus berpacu membuktikan dirinya dapat bereksistensi dengan menghadirkan
penemuan-penemuan ilmiah yang fenomenal, mengurai makna dan hakekat fisik alam,
menganalisa dinamika dari seluruh aspek kehidupan manusia, dan membuktikan
bahwa alam raya pada satu kondisi dapat dikendalikan lewat kemauan manusia
(sifat antroposentris). Dengan menggunakan anugerah kepandaian pemikiran
manusia, sains menunjukkan bahwa hidup harus dapat dirasionalkan, harus dapat
ditautkan dengan ego dan nafsu (keinginan) kemanusiaan. Bagi sains, wilayah
sejarah, kebudayaan, teknologi, dan kemasyarakatan, adalah objek yang telah,
sedang dan akan selalu dikaji secara logis, metodologis, sistematis dan
memiliki alat uji rasional yang pasti.
Disisi
yang lain, agama dengan segala keidealan ajarannya selalu ajeg (konsisten) pada
posisi dan fungsinya yang mengawal fitrah kemanusiaan. Agama selalu mengajarkan
dan merangsang agar sisi kebaikan, kesadaran dan kemengertian manusia selalu
dominan, selalu menjadi dasar berperilaku.
Agama
dengan segala kematafisikannya seakan menjauhkan diri dari sains, sebaliknya
sains dengan kesombongan logikanya seakan ingin terus membuktikan bahwa agama
hanyalah kebohongan yang tidak memiliki kualitas, angan yang tak berujung, dan
harapan semu dari para manusia yang tak berdaya. Pada posisi ini, keduanya
seakan memiliki jalan masing-masing yang tidak pernah akan bertemu. Betulkah
keduanya memang berbeda? Mana yang paling tepat? Mungkinkah keduanya saling
bersanding?
Memahami
sains, agama dan korelasi keduanya harus dimulai dari memahami makna yang
sesungguhnya dari keduanya. Sains tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia
selama sejarah yang agak panjang. August Comte (seorang filsuf dan sosiolog
Prancis) membagi fase perkembangan intelektual manusia menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama adalah tahapan
teologis, tahapan dimana manusia mulai berusaha mencari dan menemukan makna
atau hakekat yang sesungguhnya dari kehidupan yang dijalaninya, mencari makna
sesungguhnya dari semua yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialami. Semua
hal ini kemudian oleh manusia dikaitkan dengan satu dzat yang mutlak, dzat yang
kemudian lazim disebut dengan Tuhan. Kedua; tahap metafisik, tahap dimana hasil pemikiran manusia memilih untuk
mentransformasikan kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala hal dalam kehidupan,
menuju kekuasaan abstrak manusia. Ketiga; tahap
positif, tahapan dimana manusia merasa tidak lagi puas dengan keabstrakan
dalam pemikiran tentang segala sesuatu di alam ini, manusia pada tahapan ini
mencapai (atau terpuruk??) keyakinan bahwa segala hal (fenomena) harus dapat
dirasionalkan, dalam hal fenomena memerlukan penjelasan yang pasti, lewat
sebuah observasi terukur, memiliki cara pendekatan dan memiliki kelogisan.
Proses
perkembangan intelektual semacam ini yang kemudian mengantar manusia pada
pemikiran dan pengkajian secara ilmiah terhadap setiap fenomena dan untuk
sementara waktu manusia bangga dengan cara pandangnya yang menyatakan bahwa
sains harus bebas nilai, sains tidak boleh dicampur dan dipengaruhi oleh ajaran
suatu agama atau budaya, sebab menurut penganut paham ini sains akan teracuni oleh ajaran agama dan
budaya yang tidak rasional. Kemudian muncul masalah ketika sains yang bebas nilai
sering terbentur dengan kedangkalan dan keterbatasan berpikir manusia, sehingga
tidak bisa menjawab semua fenomena yang dialami, cara pandang sains yang
empiris positivistis, materialistis, sekularis terhadap setiap fenomena
ternyata tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara pandang yang semacam diatas.
Perlawanan
alam terhadap keserakahan manusia, kebiadaban perilaku sebagian manusia
terhadap manusia lainnya, serta ketidakmampuan manusia melawan beberapa
penyakit fisik dan batin membuktikan bahwa sains yang bersifat bebas nilai lagi
memiliki alas an untuk superior. Maka dalam hal ini ajaran agama hadir sebagai
obat terhadap kedangkalan berpikir manusia. Islam dalam hal ini memiliki cara
pandang (nazariyat al ilmi) yang
berbeda terhadap sains, bagi Islam sains adalah bagian dari ilmu, dan semua
bentuk ilmu adalah bagian dari bangunan ketauhidan manusia kepada Tuhannya.
Dalam
Islam, penemuan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu (termasuk sains) harus
ditujukan untuk mencapai kebahagiaan seluruh makhluk, terutama manusia sebagai khalifah fil ard’ (pengelola dan
penanggungjawab terhadap keberlangsungan kehidupan yang semestinya di dunia).
Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat, maka
untuk mencapai dua kebahagiaan dimaksud umat manusia harus berpedoman pada
ajaran ideal yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci-Nya (Al Qur’an). Sains harus
mampu menyadarkan manusia tentang keagungan dan keesaan Tuhan, sehingga sains
mampu pada akhirnya mendekatkan manusia kepada Tuhannya, kedekatan ini akan
mendorong manusia untuk beramal shaleh. Shaleh memiliki makna ketaatan untuk
menjalankan perintah Tuhan, berperilaku mulia, menjauhi larangan-Nya,
berkehidupan yang membawa kemanfaatan bagi seluruh alam, dan tidak berbuat yang
cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain.
Hadi
Masruri dan Imron Rosyidi menyatakan Islam memiliki pandangan bahwa konsep ilmu
(termasuk sains) tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang Tuhan, ilmu
datangnya dari Tuhan, maka manusia harus selalu memiliki kesadaran untuk
mencari, menemukan, dan berpedoman pada ajaran Tuhan tentang ilmu, tanpa hal
ini maka manusia akan tersesat dalam jalan gelap tak berujung yang akan
menjerumuskan manusia kepada nafsu destruktifnya. Salah satu contoh konkrit, Al
Qur’an berulang kali mengingatkan manusia untuk berpikir (afala ta’qilun.., afala
tatafakkaruun.., afalaa tatadabbaruun)
Perintah
berpikir ini merupakan pesan Tuhan yang mengajak manusia sadar bahwa setiap
perilakunya harus berdasar pada pemikiran dan pertimbangan yang mendalam, hal
ini harus semakin menyadarkan semua pihak bahwa agama ternyata hadir sebagai
paying pencerah pemikiran ilmiah umat manusia, sains harus disinari dan
dipayungi oleh ajaran agama, sehingga manusia dapat menembus kedangkalan berpikirnya
berdasar petunjuk-petunjuk di dalam Al Qur’an.
Uraian
ini memberi kejelasan bahwa tidak ada dikotomi antara sains dan agama, Al
Qur’an sebagai petunjuk Tuhan akan menjadi pedoman manusia untuk mengembangkan
kemampuan intelektualitasnya, menemukan hakikat dan makna kehidupan yang
sebenarnya, serta tidak terjerumus dalam pikiran dan cara pandang yang
menyesatkan. Pada akhirnya, semua ilmu milik Tuhan, manusia akan menemukan ilmu
tersebut apabila manusia mau berusaha
mendekatkan diri pada Tuhannya, sampai akhirnya terbangun kondisi dimana
ketinggian Dzat Allah (Teologi) akan bersanding dengan kerendahan manusia
(antroposentris) dan akan menjadi satu kesatuan (integralistik).
Pustaka
Koento Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme August Comte. Yogyakarta. Gajah Mada Press.
M. Hadi Masruri dan Imron Rosyidi. 2007.
Filsafat Sains: Dialektika Kemodernan dan
Keislaman. Malang. UIN Maulana Malik Ibrahim Press.
Zainal Habib. 2007. Islamisasi Sains. Malang. UIN Maulana Malik Ibrahim Press.
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar